Sebelas Renungan Ketika Dizalimi: Renungkan Hal Ini Sebelum Membalas Dendam (Bag. 1)
Allah ﷻ menggulirkan lembaran kehidupan manusia dengan segala manis pahitnya. Umumnya manusia mendapatkan banyak kenikmatan Allah ﷻ, bahkan sampai mustahil untuk menghitung nikmat-Nya di kehidupan kita. Akan tetapi, Allah ﷻ memang menakdirkan kehidupan manusia dengan kesusahan. Allah ﷻ berfirman,
لَقَدْ خَلَقْنَا ٱلْإِنسَٰنَ فِى كَبَدٍ
“Sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia berada dalam susah payah.” (QS. Al-Balad: 4)
Allah ﷻ menakdirkan manusia pasti menempuh jalan kesulitan. Bolehlah kita mengibaratkan sedang berenang di kolam susu yang luas. Betapa nikmatnya berenang sembari meminum air susu yang melegakan. Namun, tentu berenang adalah sebuah usaha yang tak mudah untuk dijalankan.
Termasuk kesulitan di dunia itu adalah bergulirnya episode kehidupan dimana diri kita dizalimi oleh orang lain. Ini adalah takdir Allah ﷻ yang mungkin pahit dan wajib kita mengimaninya serta bersabar dengannya. Tentu dizalimi adalah keadaan yang sangat berat. Sangat ingin rasanya membalaskan kezaliman itu dengan dalih meraih hak yang dirampas. Namun, terkadang, justru pahitnya kezaliman itu membutakan akal. Akibatnya, justru balasannya lebih buruk dari sekadar kezaliman sebelumnya. Padahal ini adalah peluang amal yang besar, meski memang berat dihadapi. Sehingga para ulama banyak membahas bab akhlak ketika dizalimi.
Salah satu ulama yang memiliki risalah sangat indah dalam membekali orang-orang terzalimi adalah Ibnul Qayyim rahimahullah. Beliau memberikan 11 perenungan yang menjadi obat penyembuh seorang hamba atas luka hati akibat gangguan hamba lainnya kepada dirinya. Ibnul Qayyim rahimahullah mengumpulkan poin-poin ini di dalam Madarijus Salikin ketika membahas bab akhlak. [1] Nikmatilah obat hati berikut ini:
Meyakini segala sesuatunya telah ditakdirkan oleh Allah ﷻ
Hal pertama yang seseorang perlu renungkan ketika dizalimi adalah bahwa episode dizalimi ini adalah bagian dari takdir Allah ﷻ. Ketika ia mengetahui bahwa ini adalah takdir Allah ﷻ, maka ia akan merasa tenang dan tidak terlalu gundah. Karena ia mengetahui bahwa episode ini telah Allah ﷻ ridai untuk menjadi takdir bagi dirinya. Terlebih ia mengetahui bahwasanya Allah ﷻ adalah Zat Al-Hakim (Maha Bijaksana) dan Al-Khabir (Maha Mengetahui secara detail). Allah ﷻ berfirman,
وَهُوَ الْقَاهِرُ فَوْقَ عِبَادِهِ ۚ وَهُوَ الْحَكِيمُ الْخَبِيرُ
“Dan Dialah yang berkuasa atas sekalian hamba-hamba-Nya. Dan Dialah Yang Maha Bijaksana lagi Maha Mengetahui.” (QS. Al-An’am: 18)
أَلَيْسَ اللَّهُ بِأَحْكَمِ الْحَاكِمِينَ
“Bukankah Allah Hakim yang seadil-adilnya?” (QS. At-Tin: 8)
Allah ﷻ telah mengabarkan kepada kita semua bahwa ialah sebaik-baik penentu takdir dengan nama dan sifat-Nya yang menunjukkan kemahakuasaan-Nya. Lantas, masihkah kita berani memprotes takdir Allah ﷻ?
Sekiranya anda menghadapi seorang dokter berkapabilitas tinggi yang memutuskan amputasi atas kaki anda karena sebuah infeksi yang dapat mematikan anda, apakah anda masih berani memprotes? Sekarang bayangkan lagi dokter itu yang menjamin kehidupan anda dari kecil sampai besar, menanggung biaya amputasi, dan perawatan hidup anda setelah operasi. Dokter itu melakukannya karena kecintaan dan kasih-sayangnya kepada anda, tidak hanya sekadar berdasarkan ilmu pengetahuannya.
Maka, lebih-lebih lagi Allah ﷻ kepada hamba-Nya. Dalam sebuah hadis, Nabi ﷺ menjelaskan sifat Allah ﷻ,
ﻟﻠﻪ ﺃﺭﺣﻢ ﺑﻌﺒﺎﺩﻩ ﻣﻦ ﻫﺬﻩ ﺑﻮﻟﺪﻫﺎ
“Sungguh Allah lebih sayang kepada hamba-hamba-Nya daripada ibu ini kepada anaknya.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Kita ketahui bahwa kasih sayang Ibu kepada anaknya adalah kasih sayang terbesar di muka bumi ini. Namun, Rasulullah ﷺ menjelaskan bahwa Allah ﷻ jauh lebih sayang kepada hamba-Nya melebihi sayang seorang Ibu kepada buah hatinya.
Sebagaimana asal orang mencinta, ia pasti berusaha melakukan hal semaksimal mungkin untuk kekasihnya. Ia selalu pilihkan hal terbaik untuknya, serta menentukan momen terindah untuknya. Meskipun terkadang itu tidak disukai kekasihnya pada saat itu. Maka, lebih-lebih lagi Allah Ar-Rahman Ar-Rahim, Dia adalah Zat yang paling rahmat kepada hamba-Nya. Tidak mungkin Allah ﷻ menjadikan momen kepahitan hidup atas seseorang, termasuk kezaliman yang dirasakan hamba-Nya, kecuali bernilai manfaat bagi hamba tersebut. Apalagi Allah ﷻ Maha Mengetahui mana jalan yang terbaik bagi hamba-Nya. Maka, argumen ini sudah cukup untuk menjadi perenungan berharga tatkala terpuruk dizalimi.
Kesabaran akan melahirkan pahala yang besar dan kelapangan bagi dirinya
Hal selanjutnya yang perlu direnungi adalah bahwa keadaan dizalimi itu justru adalah peluang untuk mendapatkan keuntungan besar di penghujungnya. Allah ﷻ berfirman,
إِنَّمَا يُوَفَّى الصَّابِرُونَ أَجْرَهُمْ بِغَيْرِ حِسَابٍ
“Sesungguhnya hanya orang-orang yang bersabarlah yang dicukupkan pahala mereka tanpa batas.” (QS. Az-Zumar: 10)
Perniagaan apa yang bisa memberikan keuntungan unlimited?! Tidak ada bisnis yang selalu menguntungkan kecuali bertransaksi pahala sabar dengan Allah ﷻ. Tanyalah kepada pebisnis besar yang telah menjadi triliuner hari ini, apakah mereka menggapainya dengan langkah yang mudah? Apakah mereka tidak pernah merasakan ditipu, dizalimi, dan dikhianati oleh orang lain? Tentu kebanyakan mereka bahkan semuanya akan menjawab “iya” bahwa mereka menggapainya dengan mati-matian.
Ketika ditanya lagi apakah pengorbanan itu worth-to-do atau pantas untuk dilakukan, tentu mereka akan menjawab sangat pantas. Maka, tentu seorang muslim akan dapat lebih bersabar dan rida atas takdirnya dizalimi, karena dalam pikirannya punya konsep bahwa orang yang bersabar akan mendapatkan profit tak terbatas!
Tentu sangat logis sekali motivasi yang Nabi ﷺ sebutkan dalam sebuah hadis bahwa segala sengsara di dunia akan terhapus ketika sudah mendapatkan satu celupan surga. Dalam sebuah hadis dari Anas radhiyallahu ‘anhu, Nabi ﷺ bertutur yang artinya,
“Didatangkan penduduk surga yang paling sengsara di dunia. Kemudian ia dicelupkan ke dalam surga dengan sekali celupan. Kemudian dikatakan kepadanya, ‘Wahai anak Adam, apakah engkau pernah merasakan keburukan sekali saja? Apakah engkau pernah merasakan kesulitan sekali saja?’ Ia menjawab, ‘Tidak, demi Allah, wahai Rabb-ku! Aku tidak pernah merasakan keburukan sama sekali dan aku tidak pernah melihatnya tidak pula mengalamminya.” (HR. Muslim no. 2807)
Inilah keuntungan yang Allah ﷻ janjikan bagi orang yang bersabar menghadapi kesengsaraan hidup! Sebuah janji yang cukup membuat mata terbelalak sekaligus buta dari kesulitan kehidupan. Maukah anda mengganti keuntungan sebesar ini dengan pelampiasan dendam yang hanya melegakan hati sesaat? Tentu orang yang berakal sehat tidak akan memilih perniagaan semisal. Oleh karena itu, merenungi pahala yang Allah ﷻ janjikan bagi orang yang bersabar ketika terzalimi adalah bagian berharga dari perjalanan mengobati luka dizalimi.
Allah ﷻ menambahkan ampunan bagi hamba yang mengampuni
Selain Allah ﷻ memberikan pahala tak terbatas kepada orang yang bersabar ketika dizalimi dan tidak mendendam, Allah ﷻ juga berikan tambahan ampunan jika orang tersebut memaafkan orang yang menzaliminya. Allah ﷻ menyerukan untuk bersikap pemaaf dengan janji akan dimaafkan oleh Allah ﷻ. Dalam sebuah firman Allah ﷻ berkaitan kasus Abu Bakr radhiyallahu ‘anhu yang marah ketika difitnah,
وَلۡيَعۡفُواْ وَلۡيَصۡفَحُوٓاْۗ أَلَا تُحِبُّونَ أَن يَغۡفِرَ ٱللَّهُ لَكُمۡۚ وَٱللَّهُ غَفُورٞ رَّحِيمٌ
“Dan hendaklah mereka memaafkan dan berlapang dada. Apakah kamu tidak ingin bahwa Allah mengampunimu? Dan Allah adalah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (QS. An-Nur: 22)
Ambillah faidah dari akhlak para salaf yang mulia! Putri kesayangannya Abu Bakr radhiyallahu ‘anhu, yakni Aisyah radhiyallahu ‘anha, difitnah oleh kerabatnya sendiri yang hidupnya ia nafkahi. Pantas sekali Abu Bakr radhiyallahu ‘anhu marah dan memboikot orang ini. Akan tetapi, ketika Allah ﷻ perintahkan untuk memaafkan dengan janji Allah ﷻ akan mengampuni Abu Bakr radhiyallahu ‘anhu, Ash-Shiddiq ini pun langsung memaafkan. Abu Bakr pun berkata, “Tentu, demi Allah kami menyukai Engkau mengampuni kami Duhai Rabb kami.” Beliau pun kembali untuk menyantuni dan memenuhi kebutuhan kerabatnya tersebut.
Oleh para ulama, potongan kisah ini menjadi alasan kongkrit mengapa Abu Bakr digelari Ash-Shiddiq. Inilah kemuliaan dari memaafkan orang yang menzalimi. Ia dapat menjadi saksi kebenaran iman seseorang. Inilah keteladanan dari orang terbaik setelah para Nabi dan Rasulnya dari umat ini.
Keutamaan lain dari memaafkan adalah sebagaimana yang disebutkan Nabi ﷺ dalam hadis,
مَا زَادَ اللَّهُ عَبْدًا بِعَفْوٍ إِلَّا عِزًّا
“Tidak ada orang yang memberi maaf kepada orang lain, melainkan Allah akan menambah kemuliaannya.” (HR. Muslim no. 4689)
Ibnul Qayyim rahimahullah berkata,
وَفِي الصَّفْحِ وَالْعَفْوِ وَالْحِلْمِ: مِنَ الْحَلَاوَةِ وَالطُّمَأْنِينَةِ وَالسَّكِينَةِ، وَشَرَفِ النَّفْسِ، وَعِزِّهَا وَرِفْعَتِهَا عَنْ تَشَفِّيهَا بِالِانْتِقَامِ: مَا لَيْسَ شَيْءٌ مِنْهُ فِي الْمُقَابَلَةِ وَالِانْتِقَامِ.
“Dalam sifat pemaaf, mengampuni dan kelembutan (menahan diri), terdapat manisnya ketenangan dan kedamaian. Jiwa pun menjadi mulia, agung, serta tinggi. Terhadap keinginan membalas dendam, maka tidak ada dorongan untuk membalasnya.” (Madarijus Salikin, 2: 303)
Berusaha rida sebagai bentuk amal dengan level yang lebih tinggi dan kejujuran cinta
Setelah merenungi bahwa memaafkan adalah jalan yang lebih baik daripada membalas dendam, ternyata masih ada level yang lebih tinggi lagi. Ibnul Qayyim rahimahullah mengingatkan bahwa jika seorang yang dizalimi ingin mendapatkan pahala yang jauh lebih besar, maka ia perlu berusaha rida atas takdir yang ada.
Pecinta sejati selalu rida dengan apa yang diberikan oleh kekasihnya. Berbagai kesulitan pun terasa lapang oleh pecinta ketika berkaitan dengan kekasihnya. Kalau dalam budaya Indonesia, sering diungkapkan, “Gunung manapun kan kudaki. Samudera manapun kan kuseberangi.” Ungkapan ini menunjukkan bahwa kekuatan cinta membuat pemiliknya menjadi lapang dada dengan segala rintangan ujian dalam mendapatkan kekasihnya. Maka, rida atas takdir Allah ﷻ yang pahit ketika dizalimi adalah bagian dari kejujuran cinta seorang hamba.
Jalan rida ini adalah levelnya para Nabi dan Rasul. Orang yang paling berat ujiannya adalah para Nabi dan Rasul, khususnya para rasul ulul azmi. Salah seorang sahabat bertanya kepada Nabi ﷺ, “Wahai Rasulullah, manusia manakah yang paling berat ujiannya?” Beliau ﷺ menjawab, “Para Nabi, kemudian yang semisalnya dan semisalnya lagi.” [2]
Mereka tidak hanya sabar ketika dizalimi karena urusan dunia, melainkan mereka rida atas kezaliman orang lain tatkala mendakwahkan kalimat tauhid. Contohnya adalah Nabi Nuh ‘alaihissalam, beliau menghadapi ujian dakwah selama 950 tahun. Tidak hanya kaumnya yang menolaknya, bahkan penolakan itu datang dari kalangan keluarga sendiri. Tentu ini adalah hal berat, tetapi Nabi Nuh ‘alaihissalam bermain di level sangat tinggi. Tidak hanya sekadar bersabar, tetapi Nabi Nuh ‘alaihissalam justru bersyukur dengan banyak berzikir, sehingga digelari sebagai ‘abdan syakura (hamba yang pandai bersyukur). [3]
Inilah teladan keridaan dalam menghadapi kezaliman sesama makhluk. Siapa di antara kita yang pernah berdakwah selama 950 tahun dan mayoritas hasilnya adalah penolakan? Tentu tidak ditemukan lagi di zaman ini. Jelas tidak ada manusia di milenium ini yang lebih berat ujiannya secara hitungan dunia dibandingkan Nabi Nuh ‘alaihissalam. Namun, Nabi Nuh‘alaihissalam berhasil melewatinya tidak hanya dengan nilai KKM, melainkan nilai cumlaude berpredikat abdan syakura.
Renungan tambahan
Masih ada 7 poin lagi yang dapat kita renungkan ketika hendak membalaskan dendam sakitnya dizalimi. Ibnul Qayyim rahimahullah menghimpun obat hati ini dengan tingkatan level dosis yang berbeda sesuai dengan kapabilitas orangnya. Tidak hanya dosis yang meningkat, tetapi juga beragam pendekatan yang sekiranya dapat meredakan gejolak dendam ketika dizalimi.
Wahai orang yang dizalimi! Jika engkau ingin membalaskan dendam itu, ingatlah wasiat Nabi ﷺ ini,
فَيُبْتَلَى الرَّجُلُ عَلَى حَسَبِ دِينِهِ فَإِنْ كَانَ دِينُهُ صُلْبًا اشْتَدَّ بَلاَؤُهُ وَإِنْ كَانَ فِى دِينِهِ رِقَّةٌ ابْتُلِىَ عَلَى حَسَبِ دِينِهِ فَمَا يَبْرَحُ الْبَلاَءُ بِالْعَبْدِ حَتَّى يَتْرُكَهُ يَمْشِى عَلَى الأَرْضِ مَا عَلَيْهِ خَطِيئَةٌ
“Seseorang akan diuji sesuai dengan kondisi agamanya. Apabila agamanya begitu kuat (kokoh), maka semakin berat pula ujiannya. Apabila agamanya lemah, maka ia akan diuji sesuai dengan kualitas agamanya. Seorang hamba senantiasa akan mendapatkan cobaan hingga dia berjalan di muka bumi dalam keadaan bersih dari dosa.” (HR. Tirmidzi no. 2398, Ibnu Majah no. 4024, Ad-Darimi no. 2783, Ahmad, 1: 185)
Ketahuilah! Inilah kabar gembira untuk siapapun yang terluka hatinya saat ditimpa musibah. Rantai musibah yang menimpa itu adalah indikator level agama anda. Semakin berat musibah yang dihadapi, maka semakin tinggi level agamanya. Bergembiralah! Dengan kabar inilah anda dapat membakar mesin hati untuk rida atas takdirnya.
[Bersambung]
Baca juga: Benarkah Nabi Tidak Pernah Marah Ketika Pribadinya Dizalimi?
***
Penulis: Glenshah Fauzi
Artikel Muslim.or.id
Referensi:
Madarijus Salikin cet. Darul Kutub Al-Arabiyah Jilid 2. Diakses via maktabah syamilah https://shamela.ws/book/8370/797
Catatan kaki:
[1] Terdapat dalam Madarijus Salikin (2: 303) cet. Darul Kutub Al-Arabiyah Beirut via maktabah syamilah. Link: https://shamela.ws/book/8370/797
[2] HR. Tirmidzi no. 2398, Ibnu Majah no. 4024, Ad-Darimi no. 2783, dan Ahmad, 1: 185.
[3] Lentera Ilahi dalam Kisah Para Nabi dan Rasul, karya Dr. Firanda Andirja (1: 154).
Artikel asli: https://muslim.or.id/110770-renungan-ketika-dizalimi-bag-1.html